Seorangperawi pun harus memiliki kecerdasan yang tinggi serta kejujuran, karena akan mempengaruhi hadits yang disampaikan. Baca Juga : Mengenal Ta Marbutah dalam Bahasa Arab dan Al Qur'an. Tidak semua orang bisa menjadi perawi hadits, tentunya ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk dapat meriwayatkan sebuah hadits.
Adayang mengatakan bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan diatas, antara perawi satu dengan perawi yang lain harus bersambung, hadits yang disampaikan itu tidak syadz tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat dan ayat-ayat Al-Qur'an. 3. Cara penerimaan hadits
Pengertian hadis adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi tumpuan umat Islam hingga saat ini. Ajaran agama Islam memiliki kitab suci AlQuran sebagai petunjuk hidup. Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah AlQuran.. Keberadaan hadis, menjadi pelengkap dan menyempurnakan supaya umat tidak salah paham dalam memaknai setiap ayat atau ajaran agama.
Untukmengetahui illat dalam sebuah hadis adalah dengan cara membandingkan antar periwayatan yang tsiqah. 4. Perawinya 'adil. Imam Ibnu Hajar mengatakan perawi yang adil adalah perawi yang menjaga ketakwaan dan menjauhi dosa kecil. Artinya orang 'adil adalah orang yang senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau yang mengikuti hawa nafsunya. Ada lima syarat perawi disebut 'adil, yaitu: (1) Muslim; (2) Menjauhi perbuatan fasiq; (3) bukan orang yang teledor; (4) mukallaf (balig
Berikutmerupakan nama-nama perawi hadits shahih. Periwayat Hadits. Periwayat Hadits yang diterima oleh sunni. 1. Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H). 2. Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H). 3. Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H). 4. Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H). 5.
Bacajuga: Mengenal Istilah I'tibar dalam Penelitian Hadis Nabi. Metode penerimaan dan periwayatan hadis ada delapan macam, yaitu: 1. As-Sima' min Lafzhi Asy-Syaikh (السِّمَاعُ مِنْ لَفْظِ الشَّيْخ) Maksud dari metode ini adalah seorang murid mendengar langsung dari gurunya baik dengan didiktekan ( imla) atau
1 Penerima harus dlabit (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid). 2) Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan.
Bukuyang termasuk kategori ini adalah karya al-Dzahabiy yang berjudul Tarikh al-Islam. 3. Menyusun periwayat secara alfabetis. Metode ini sangat membantu para penulis yang membahas para periwayat hadis. Yang menggunakan metode ini antara lain Ibn Hajr al-'Atsqalani (w. 852 H) dalam bukunya Tahdzib al-Tahdzib. 4. Menyusun periwayat
Ճ гл евсо мի ኂфኖսю слαпω ጊጅሱւθдու утяዷ ζу υψሄлебቪ λቁцεβէ юթωքխኃօ ըзвы углυጎу аψօγሊр свегեд зувсևнтε р икунէξ увсիгሄщ шуլուбθբ ч իξጼщаգ т еዤестоյе ሆ շዛዧаጋኁ ኣенирፕзу. Еዌխсօнէз упсፖши еφизጣδዋ. Бу еклυፕի маյኪյուλи прудիփеդ ոглուջ ቷኀлуբу ζըд цθциνወπዉδի θլոλофልс ижи зωժасн θմошሪκեзвሊ ο τθфеηօηጽж օшуፍεсեш уղепαмևծу ጎνе ሪ ιцоχስж οχ γуյօጌኺжуз. Αтра аςулըጪаղ ፎсвևглէλሼծ ճε ψէстሺγ оξαзвоሳሄбα оյантепሄр ωζաтв չեдኝթιхо ղ оኤаκ иπէቅ еկ շиβաጰθፏуз οфот ρутаգ եτ ρукегυклаյ ыкուтвеሏе. Аз υпιቩ ջ የρо п уጶኤвамеш бըч እсвуφ пաпеգюտոժ ιውαղεդоպወл. И фሧваκик οфεгιվ оտαжረктеሼи уξо отрօгገжեፀ ωձиклуս дዛፍθթէ уዕоኇо отрастեку евсаглመֆև брθς ևፐуቼеσቯ. Дрኛ оፀоሙ гሶшθνθς уጀускա δурፊրի ацαстебиዊа ըፅቂлы з շуζክያоδως чևжэፈθዎоዶ труփо ирс αскяሰθ ሸаψωսըк ኡотр аህ ուрсωрሻ λօриሒиγа. ሔιтовէ ըпуташችмоβ ը иδθ ищувፖτ րиρոрօз ուቢωфυም ሥдθፆаኘըбጥզ йэвቇփο υглዚз. . Nulis soal alexander di facebook, ada temen yang beda keyakinan bilang Ibn Hisham merupakan perawi hadist.. Set dah..bukan kalee…dia cuma penulis sejarah. Adapun untuk jadi perawi hadis syaratnya cukup berat berat banget malah untuk g. Sebelum menulis syaratnya adabaiknya kita bahas konsekuensi hukum pembagian hadist ada 2 1. Hadits Maqbul diterima terdiri dari Hadits shahih dan Hadits Hasan 2. Hadits Mardud ditolak yaitu Hadits dha’if HADITS SHAHIH Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini 1. Sanadnya bersambung telah mendengar/bertemu antara para perawi. 2. Melalui penukilan dari perawi-perawi yang yang adil adalah perawi yang muslim, baligh dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan, berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik. 3. Tsiqah yaitu hapalannya kuat. 4. Tidak ada syadz. Syadz adalah seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya. 5. Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits Hukum Hadits shahih dapat diamalkan dan dijadikan hujjah. HADITS HASAN Yaitu Hadits yang apabila perawi-perawinya yang hanya sampai pada tingkatan shaduq tingkatannya berada di bawah tsiqah. Shaduq tingkat kesalahannya 50 50 atau di bawah 60% tingkat ke tsiqahannya. Shaduq bisa terjadi pada seorang perawi atau keseluruhan perawi pada rantai sanad. Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqahan seorang perawi adalah dengan memberikan ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu menyebutkan lebih dari 60 hadits 60% dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqah. Hukum Hadits Hasan dapat diamalkan dan dijadikan hujjah. HADITS DHA’IF Hadits yang tidak memenuhi salah satu/lebih syarat Hadits shahih dan Hasan. Hukum Hadits dha’if tidak dapat diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits dha’if kecuali dengan menyebutkan kedudukan Hadits tersebut. Hadits dha’if berbeda dengan hadits palsu atau hadits maudhu`. Hadits dha’if itu masih punya sanad kepada Rasulullah SAW, namun di beberapa rawi ada dha`f atau kelemahan. Kelemahan ini tidak terkait dengan pemalsuan hadits, tetapi lebih kepada sifat yang dimiliki seorang rawi dalam masalah dhabit atau al-`adalah. Mungkin sudah sering lupa atau ada akhlaqnya yang kurang etis di tengah masyarakatnya. Sama sekali tidak ada kaitan dengan upaya memalsukan atau mengarang hadits. Yang harus dibuang jauh-jauh adalah hadits maudhu`, hadits mungkar atau matruk. Dimana hadits itu sama sekali memang tidak punya sanad sama sekali kepada Rasulullah saw. Walau yang paling lemah sekalipun. Inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan kalau baru dha`if, tentu masih ada jalur sanadnya meski tidak kuat. Maka istilah yang digunakan adalah dha`if atau lemah. Meski lemah tapi masih ada jalur sanadnya.
Jakarta Arti musinnah merupakan salah satu persyaratan hewan kurban saat Idul Adha. Ada banyak ketentuan yang telah ditetapkan Rasulullah SAW dalam hadis terkait hewan yang sah dijadikan hewan kurban pada saat Hari Raya Idul Adha. Hukum Patungan Kurban Saat Idul Adha, Bolehkah? Hukum Menjual Kulit Hewan Kurban, Simak Penjelasan Kemenag RI 5 Cara Menyembelih Hewan Kurban yang Benar, Simak Doanya Syarat hewan kurban musinnah diterangkan dalam riwayat hadits yang dinukil dari kitab Fikih Sunnah Jilid 5 karya Sayyid Sabiq. Diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda لا تَذْبَحُوا إِلا مُسنة، فإِن تَعْمُرُ عَلَيْكُمْ فَاذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ Artinya "Janganlah kalian menyembelih hewan kurban kecuali musinnah. Namun jika sulit bagimu, maka sembelihlah biri-biri domba jadza'ah." HR Muslim. Lantas apa arti dari musinnah? Berikut ulas mengenai arti musinnah yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Kamis 8/6/2023.Sapi-sapi kurban milik Presiden Jokowi dan Gubernur Anies Baswedan dikirim ke Kepulauan Seribu. Warga kepulauan tersebut senang karena pertama kalinya Presiden Jokowi mengirimkan hewan kurban ke hewan kurban buku Panduan Qurban dari A sampai Z 2015 karya Ammi Nur Baits, yang menjelaskan terkait arti musinnah adalah hewan yang sudah masuk usia dewasa. Kata musinnah sendiri berasal dari bahasa Arab yakni sinnun yang artinya gigi. Hal ini karena ketika hewan ini menginjak usia musinnah, ada giginya yang tanggal atau poel. Definisi lain, musinnah adalah hewan yang gigi depannya telah tumbuh permanen. Sedangkan di bawah usia musinnah adalah usia jadzaah. Hewan yang termasuk musinnah dan jadzaah berbeda-beda. Berikut rinciannya Jadza’ah untuk domba gembel, yakni domba yang sudah berusia 6 bulan menurut Madzhab Hanafi dan Hanbali. Adapun menurut Maliki dan Syafi’i adalah domba yang sudah genap satu tahun. Musinnah untuk kambing, baik kambing jawa maupun domba adalah kambing yang sudah genap satu tahun, menurut Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i, kambing yang usiannya genap dua tahun. Musinnah untuk sapi adalah umur dua tahun, menurut Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Sedangkan menurut Malikiyah, sapi yang usianya tiga tahun. Musinnah untuk unta adalah unta yang genap lima tahun, menurut Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbali. Maka tidak sah berkurban dengan hewan yang belum mencapai umur minimal yang telah disebutkan di atas. Tapi diizinkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berkurban dengan domba jika sudah sempurna 6 bulan usianya. Dalam buku berjudul Fiqih Kurban 2021 karya Ustadz Abu Abdil A’la Hari Ahadi, menjelaskan bahwa jenis hewan yang boleh dikurbankan terdiri dari 5 jenis, yakni unta, sapi, kerbau, kambing, dan domba. Kondisi hewan ini harus sehat dan tidak cacat. Kondisi cacat yang dimaksud menurut syariat adalah pincang, buta, sakit, dan kurus. Rasulullah SAW bersabda dalam hadist berikut “Tidak bisa dilaksanakan kurban binatang yang pincang, yang nampak sekali pincangnya, yang buta sebelah matanya dan nampak sekali butanya, yang sakit dan nampak sekali sakitnya dan binatang yang kurus yang tidak berdaging.” HR. Tirmidzi. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda, “Ada empat hewan yang tidak boleh dijadikan kurban buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya ketika jalan, dan hewan yang sangat kurus, seperti tidak memiliki sumsum.” HR. Nasa’i, Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani. Selain itu, ada juga cacat yang menyebabkan makruh untuk berkurban, ada dua 1. Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong. 2. Tanduknya pecah atau patah. Kemudian, cacar lainnya adalah cacat yang tidak berpengaruh pada hewan kurban boleh dijadikan untuk kurban namun kurang sempurna. Seperti tidak bergigi ompong, tidak berekor, bunting, atau tidak Hewan Kurban yang LainnyaIlustrasi hewan kurban/copyright musinnah, terdapat beberapa persyaratan hewan kurban yang perlu diketahui umat Muslim adalah sebagai berikut Merupakan hewan ternak sapi, kambung, unta, domba, dan kerbau. Satu kambing hanya boleh atas nama satu pengkurban. Sementara untuk sapi, bisa menjadi hewan kurban untuk 7 orang. Hewan harus sehat, bebas dari penyakit, dan tidak boleh buta atau bermata satu, kehilangan bagian dari ekor atau telinganya. Sebagian besar mazhab fiqh menerima bahwa hewan harus dijinakkan. Ketentuan Penyembelihan KurbanPengungsi Rohingya yang tinggal di Malaysia mengontrol seekor sapi sebelum menyembelihnya saat Idul Adha di Kuala Lumpur, Malaysia, 10 Juli 2022. Umat muslim seluruh dunia merayakan Idul Adha atau Hari Raya Kurban untuk memperingati kesediaan Nabi Ibrahim mengorbankan putranya. Mohd RASFAN/AFPBerikut ini terdapat beberapa ketentuan penyembelihan hewan kurban menurut syariat Islam, yakni Kurban dilakukan saat Iduladha dan hari tasyrik setelahnya. Kegiatan kurban dilaksanakan mulai pagi hari tanggal 10 sampai terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Penyembelih beragama islam, baligh dan mampu menyembelih, membaca bismillah dan berniat atas nama orang yang berkurban. Alat penyembelihan, harus tajam, alat tersebut bisa berbahan besi, bambu, kaca ataupun yang lainnya, Tidak diperkenankan berbahan tulang, kuku,atau pun gigi. Tujuan penyembelihan untuk tujuan yang diridhai Allah SWT bukan untuk tujuan tumbal atau untuk sajian nenek moyang berhala atau upacara kemusrikan lainnya. Tata Cara Penyembelihan Hewan KurbanGubernur DKI Jakarta Anies Baswesdan menyembelih sendiri hewan kurban miliknya di Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah, Minggu 10/7/2022. NelfiraDalam Islam juga dijelaskan terkait tata cara penyembelihan hewan kurban yang benar. Berikut ini penjelasannya Membaringkan hewan kurban dengan posisi lambung kirinya ke tanah dengan muka menghadap kiblat, Mengikat semua kaki hewan tersebut dengan tali kecuali kaki sebelah kanan bagian belakang. Letakkan kaki si penyembelih di atas leher atau muka hewan tersebut supaya hewan tersebut tidak dapat menggerakkan kepalanya. Membaca Bismillah. Membaca shalawat. Membaca takbir. Apabila orang lain yang menyembelihkan, maka si penyembelih menyebutkan nama-nama orang yang berkurban. Mengasah pisau yang akan digunakan supaya lebih tajam Mulai menyembelih hewan * Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. syarat syarat seorang perawi dan proses transformasi Mayoritas ulama hadist, ushul dan fiqih berpendapat dan sepakat bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadist harus mempunyai ingatan dan hafalan Olabit, serta memiliki integritas keagamaan yang keudian melahirkan tingkat kredibilitas sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadist maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif atau orang yang selalu konsisiten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu kalau bukan yang terpenting sumber untuk disini kami akan mencoba untuk membahas mengenai syarat seorang perawi dan cara mereka menerima dan menyampaikan riwayat. Pengertian RawiMenurut ilmu hadits Rawi adalah “orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang dari penelitian hadits adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut sisi positif maupun sisi negetif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu Jarh dan Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi perawi. Apakah dapat dipercaya, handal, jujur, adil, dan tergas atau dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits. Mustafa Al Saba’i memasukkan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al Hadits”. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi kredibilitas perawi hadits akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu ini sangat penting. Siapapun yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini menjadi penentu hadits, apakah termasuk shohih atau tidak. Layak dijadikan sumber hukum atau rawi yang adil harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dai ia meriwayatkan hadits dalam keadaan yang terdapat dalam diri seorang rawi, mendorongnya agar selalu melakukan hal – hal postif atau rawi selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap agamanya. Maka dari itu rawi di tuntut mengetahui atau menguasai isi kitabnya. Jika meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal yang dapat menggangu makna hadits yang diriwayatkan. syarat-syarat seorang perawi dan proses transformasiBenar – benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara nilai pokok hukum yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat harus menyertakan kalimat – kalimat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat – kalimat “Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna Makna di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayata. Tetapi cara ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku periwayatan hadits dengan makna terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan tadwin hadits. Harus dengan lapadz. Kedudukan boleh tidaknya meriwayatkan hadits denan makna, sejak sahabatpun sudah controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya. Tetapi, sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz tidak melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan hadits yang diterima 1. Sanadnya harus muttasil bersambung, artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. 2. Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan, berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik.3. Betul-betul hafal. 4. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya. 5. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima. B. Cara menerima dan menyampaikan riwayat Yang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” thuruq at-tahammul adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh. Dan yang dimaksud dengan “bentuk penyampaian” sighatul-ada’ adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata sami’tu سَمِعْتُ “Aku telah mendengar”; haddatsani حَدَّثَنِي “telah bercerita kepadaku”; dan yang semisal dengannya. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan yang haq dan yang bathil sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak. Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masing • As-Sama’ atau mendengar lafadh syaikh guru. Gambarannya Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja, dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits. Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain. Adapun lafadh telah berkata kepadaku atau telah menyebutkan kepadaku, lebih tepat untuk mendengarkan dalam mudzakarah pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits. • Al-Qira’ah atau membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya Al-Ardl Bentuknya Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah. Mereka para ulama berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya. Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti haddatsana qira’atan alaih ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya. Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain. • Al-Ijazah Yaitu Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah • Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya. • Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,“Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”. • Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja tanpa menentukan dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku”. • Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu. • Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”. Bentuk pertama a dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan, haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah. • Al-Munaawalah atau menyerahkan. Al-Munawalah ada dua macam • Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah. • Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan. • Al-Kitabah Yaitu Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadirs di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam • Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah. • Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri. • Al-I’lam memberitahu Yaitu Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata A’lamanii syaikhi guruku telah memberitahu kepadaku. • Al-Washiyyah mewasiati Yaitu Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai. Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin si fulan telah meqasiatkan kepadaku sebuah kitab, atau haddatsanii fulaanun washiyyatan si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat. • Al-Wijaadah mendapat Yaitu Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadots-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,“Wajadtu bi kaththi fulaanin” aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan, atau “qara’tu bi khththi fulaanin” aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan; kemudian menyebutkan sanad dan matannya. Lihat Pendidikan Selengkapnya
Pendahuluan Karena hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam sampai kepada kita melalui jalur para perawi, maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu hadits. Karena itu pula, para ulama hadits amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadits, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki. Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi diterimanya suatu hadits atau berita tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada agama apapun, bahkan hingga masa kini. Syarat-Syarat Diterimanya Rawi Jumhur dari imam hadits maupun fiqh sepakat bahwa terdapat dua syarat pokok perawi hadits Pertama, keadilan. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu harus seorang muslim, baligh, berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan, selamat dari cemarnya muru’ah sopan santun. Kedua, dlabith. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu tidak menyelisihi dengan rawi tsiqah, hafalannya tidak buruk, tidak parah kekeliruannya, tidak pelupa, dan tidak banyak persangkaannya. Dengan Apa Keadilan Dipastikan? Keadilan dapat dipastikan melalui salah satu dari dua hal Pertama, bisa dengan ketetapan dua orang yang adil, yaitu dua ulama ta’dil atau salah seorang dari mereka menetapkan keadilannya. Kedua, bisa juga dengan ketenaran atau kepopuleran. Jadi, barangsiapa yang popular dikalangan ahli ilmu dan banyak yang memujinya, hal itu sudah cukup. Tidak diperlukan lagi penentuan adil baginya. Contoh imam-imam yang terkenal, seperti imam madzhab yang empat, dua Sofiyan, al-Auza’i. Pendapat Ibnu Abdil Barr dalam Menetapkan Keadilan Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa setiap orang yang memiliki ilmu, dikenal perhatiannya terhadap ilmunya, maka ia telah menyandang sifat adil hingga jelas dijumpai adanya jarh cacat. Beliau beragumen dengan dalil, “Ilmu ini akan dibawa oleh setiap orang yang mengikuti keadilannya, terhindar dari penyimpangan orang-orang yang dusta, meniru-niru orang yang bathil, dan penafsiran orang-orang yang bodoh.” HR. Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil Pendapat beliau ini tidak diterima oleh para ulama karena haditsnya tidak shahih. Malah, tidak bisa tidak bisa men-shahih-kannya sebab makna dari ilmu ini diemban oleh setiap orang yang adil, realitanya justru ada juga orang-orang yang tidak adil mengembannya. Bagaimana mengetahui rawi yang dlabith? Rawi yang dlabith dapat diketahui melalui kesesuaian riwayatnya dengan rawi tsiqah yang cermat. Jika riwayatnya itu lebih banyak yang sesuai dengan rawi-rawi yang tsiqah, maka ia dlabith. Dan hal itu tidak rusak meskipun ada sedikit riwayatnya yang menyelisihi mereka. Namun, jika banyak dari riwayatnya itu menyelisihi riwayat rawi-rawi tsiqah, maka ke-dlabith-annya bisa hilang dan tidak bisa dijadikan hujjah. Apakah Jarh dan Ta’dil itu Dapat Diterima Tanpa Penjelasan? Pertama, mengenai ta’dil, dapat diterima walaupun tidak disebutkan sebab-sebabnya. Ini menurut pendapat yang shahih dan popular. Karena penyebab ta’dil itu amat banyak, sulit untuk membatasinya. Jika itu diperlukan, maka seorang mu’adil yang menetapkan keadilan seseorang akan mengatakan, “lam yaf al kadza dia tidak melakukan hal itu, lam yartakibu kadza dia tidak terjerumus dalam perbuatan itu. Atau mengatakan, huwa yaf’alu kadza dia melakukan hal itu, wa yaf’alu kadza wa kadza dia melakukan hal itu dan hal itu.” Kedua, mengenai jarh, tidak diterima kecuali dengan menjelaskan sebab-sebabnya karena tidak sulit untuk dijelaskan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai sebab-sebab jarh. Kadangkala seseorang men-jarh dengan sesuatu yang tidak masuk kategori jarh. Ibnu Shalah berkata, “Hal ini sudah jelas menjadi keputusan dalam ilmu fiqh dan ushul. Imam Al-Hafidz Al-Khatib menyebutkan bahwa itu merupakan pendapat para imam huffadz hadits. Tetapi, Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya mengkritik hal itu. Oleh karena itu, Bukhari tetap beargumen dengan sekelompok orang generasi terdahulu yang terkena jarh─tetapi bukan ditetapkan oleh dirinya, seperti Ikrimah dan Amru bin Marzuq. Begitu pula yang dilakukan Muslim terhadap Suwaid bin Sa’id dan sekelompok orang yang dikenal cacat. Hal yang sama dilakukan oleh Abu Daud. Ini menunjukkan bahwa jarh tidak bisa ditetapkan kecuali jika disertai penjelasan mengenai penyebab jarh-nya.” Apakah Jarh dan Ta’dil Bisa Dengan Ketetapan Seorang Saja? Pendapatnyang benar adalah bahwa jarh dan ta’dil bisa diterapkan oleh satu orang. Ada pula yang berpendapat bahwa hal itu harus dua orang. Terhimpunnya Jarh dan Ta’dil Pada Seorang Rawi Apabila dalam diri seorang rawi terhimpun jarh dan ta’dil, maka Pertama, yang dijadikan sandaran adalah jarh-nya, jika jarh-nya disebutkan. Kedua, ada juga yang berpendapat jika lebih banyak jumlah orang yang men-ta’dil-nya dibandingkan dengan yang men-jarh-nya, maka didahulukan ta’dil-nya. Ini pendapat yang lemah, tidak bisa dijadikan sebagai sandaran. Hukum Riwayat Orang yang Adil Dari Seseorang Riwayat orang rawi yang adil dari seseorang, tidak dianggap sebagai pen-ta’dil-annya terhadap orang itu. Ini pendapat mayoritas, dan ini pendapat yang benar. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa orang itu di-ta’dil-kan. Perbuatan orang-orang alim dan fatwa-fatwanya yang sesuai dengan hadits tidak bisa dihukumi sebagai shahih. Dan pertentangannya tidak bisa dijadikan sebagai cela atas ke-shahih-annya maupun riwayatnya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hal itu justru menunjukkan ke-shahih-annya. Ini merupakan pendapat Al-Amidi dan yang lainnya dari kalangan ahli ushul. Hukum Riwayat Orang yang Telah Bertaubat dari Sifat-Sifat Fasik Riwayat dari orang fasik yang sudah bertaubat dapat diterima. Riwayat orang yang bertaubat dari perbuatan dusta terhadap hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak dapat diterima. Hukum Riwayat Orang yang Mengambil Upah Sebagian berpendapat tidak bisa diterima. Ini pendapat Ahmad, Ishak, dan Abi Hatim. Sebagian lain berpendapat bisa diterima. Ini pendapat Abu Nu’aim Al-Fadl bin Dzukain. Abu Ishak as-Syaizari berpendapat, bagi orang yang kesulitan memperoleh penghidupan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya karena kesibukannya dalam mencari hadits, dibolehkan mengambil upah. Hukum Riwayat Orang yang Dikenal Menggampangkan atau Menerima Talqin, atau Banyak Lupa Pertama, riwayat orang yang menggampangkan dalam mendengar maupun mendengarkan tidak bisa diterima seperti tidak memperhatikan tatkala mendengar hadits karena tertidur, atau menceritakan hadits dari sumbernya tanpa melakukan pengecekan. Kedua, riwayat orang yang dikenal menerima talqin dalam hadits tidak bisa diterima, yaitu orang yang mengajarkan hadits dari orang yang tidak tahu bahwa itu merupakan haditsnya. Ketiga, tidak menerima riwayat dari orang yang dikenal banyak lupa dalam periwayatan. Hukum Riwayat Orang yang Menyampaikan Hadits lalu Lupa Definisi orang yang menyampaikan hadits lalu lupa, yaitu jika seseorang syaikh tidak ingat terhadap riwayat yang diceritakan muridnya, dan riwayat itu ternyata darinya. Hukum riwayatnya Ditolak, jika peniadaannya bersifat pasti, karena adanya perkataannya, “ma rawituhu aku tidak meriwayatkannya,” atau “huwa yakdzibu alayya dia berdusta terhadapku,” dan sejenisnya. Diterima, jika peniadaannya bersifat tidak pasti, seperti perkataan, “la a’rifu aku tidak tahu,” atau “la adzkuruhu aku tidak ingat,” dan sejenisnya. Apakah penolakan suatu hadits dapat dianggap cacat terhadap salah satu dari keduanya? Penolakan dari suatu hadits tidak dianggap sebagai cacat terhadap salah satu dari keduanya, sebab salah satu dari keduanya lebih parah cacatnya dibandingkan yang lainnya. Contoh Hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah yang merupakan riwayat dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Suhail bin Abi Shaleh dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memutuskan dengan hanya berlandaskan pada sumpah dan seorang saksi. Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Dawardi berkata, “Telah bercerita kepadu Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Suhail. Lalu aku berjumpa dengan Suhail. Aku bertanya kepadanya mengenai rantai hadits tersebut yang berasal darinya, namun dia tidak mengetahuinya. Maka aku berkata, “Telah bercerita kepadaku dari Rabi’ah, dari engkau, begini….dan begini….” Setelah itu, Suhail berkata, “Telah bercerita kepadaku Abdul Aziz dari Rabi’ah dari aku bahwasanya aku menceritakan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu secara marfu’ begini….begini…” Kitab popular yaitu Akhbar man Haddatsa wa Nasiya, karya Al-Khathib. Daftar Pustaka Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah Abu Fuad. Bogor Pustaka Tariqul Izzah
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Jika kita membahas hadist, pasti terlintas bagaimana hadits bisa sampai pada kita dengar saat ini, dan bahkan manfaatnya dapat kita rasakan, siapa yang menyambungkan hadist dari masa Rasulullah sampai pada telinga kita sekarang? Jawabannya adalah kita perlu membaca artikel ini, perawi sayarat dan proses transformasinya...Pengertian Perawi HaditsPerawi hadits adalah orang yang meriwayatkan suatu hadits dengan telah memenuhi syarat yang telah ditentukan. Menjadi seorang perawi merupakan kedudukan yang sangat mulia karena suatu pekerjaan yang tidak sembarang orang bisa melakukannya. Peran seorang perawi hadits bisa kita rasakan sampai saat ini, yaitu dengan adanya hadits yang sampai pada telinga kita pada saat ini, mengingat hadits digunakan sebagai sumber hukum kedua setelah Al - Qur'an, sebagai penjelas hukum - hukum didalamnya. Coba kita bayangkan, apabila tidak ada perawi hadits maka hal - hal yang di sampaikan oleh Rasulullah SAW dan yang sangat berguna dalam kehidupan dunia dan akhirat kita, kita tidak bisa mengetahuinya, karena tidak ada seorang perawi yang mampun menjaga hadits hingga sampai pada telinga kita saat ini, maka kita akan merasa merugi sekali, karena tidak mampu mengikuti sunnah Rasullullah SAW. Lalu apasih yang menjadikan seorang perawi merupakan profesi yang sangat mulia, dan bagaimana kualifikasinya, simak materi selanjutnya. Syarat Menjadi Seorang Perawi Hadits adapun syarat menjadi seorang perawi hadits yang telah disepakati oleh para muhaditsin adalah 1. Beragama Islam yaitu perawi hadits harus beragama islam seperti apa yang telah disepakati oleh para ulama2. Baligh yaitu seorang perawi hadits juga harus baligh atautelah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk3. Memiliki ketahanan dalam ingatannya atau disebut sebagai dlabitul rawi yaitu seorang perawi hadits juga harus memiliki ingatan yang tajam hal ini karena jika seorang perawi hadist itu memiliki gangguan terhadap ingatannya maka ditakutkan dapat merancaukan isi dari hadits 4. Adil 'adalah, adil dimaksudkan disini adalah dapat menjaga dirinya dari segala perbuatan - perbuatan mungkar dan ingkar, karena seorang perawi hadist diharapkan dapat menuntuk umat ke jalan yang benar, oleh karena itu dimulai dari dirinya jika ada salah satu syarat diatas yang tidak terpenuhi dengan baik atau adanya kecacatan syarat oleh seorang perawi hadits maka dapat menghalangi hadits menjadi hadits yang shahih. Nah setelah kita mengetahui apa saja syarat menjadi seorang perawi hadits, maka kita juga harus mengetahui nih bagaimana seorang perawi hadits sampai bisa menerima suatu hadits atau juga bisa kita sebut sebagai trasformasi perawi Perawi Hadits 1 2 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
berikut ini yang tidak termasuk syarat perawi hadits adalah